Sabtu, 03 April 2010

GANYANG PEMBAJAK PAJAK

Terungkapnya kasus Gayus Tambunan (seorang pegawai muda/golongan IIIA Ditjen Pajak) merupakan suatu fenomena saat ini dalam masyarakat. Karena apa yang diperkirakan dan menjadi rahasia umum selama ini terungkap sudah. Bahwa dalam Ditjen pajak terdapat pembajak pajak yang merugikan keuangan Negara. Darmin Nasution (saat masih menjabat Dirjen Pajak) pernah menyebutkan, bahwa potensi penerimaan pajak yang hilang (tax gap) akibat uang suap, penyelundupan, dan kriminal lainnya mencapai Rp. 300 triliun per tahun. Itu setara 34,8 persen dari potensi penerimaan pajak maksimum yang seharusnya diterima, yakni Rp. 800 triliun pertahun.
Pembajakan yang dilakukan oleh oknum pegawai Ditjen Pajak terhadap pajak wajib pajak sebenarnya bukan hal baru dalam dunia perpajakan. Baunya tercium tapi tak kelihatan seperti “bau kentut”.
Pembajak pajak ini terungkap kepermukaan berkat laporan Pak Susno. Oleh karena itu perlu memberikan apresiasi terhadap tindakan yang dilakukan oleh Pak Susno tersebut. Terlepas, dari pro dan kontra beliau melaporkan informasi tersebut.
Selama ini Pembajakan pajak yang disorot adalah wajib pajak. Para wajib pajak yang melakukan pembajakan terhadap pajak hampir diketahui oleh publik, karena pembajak tersebut di umumkan. Namun, ternyata pembajak tersebut tidak hanya dari wajib pajak, oknum-oknum pegawai perpajakan pun melakukan pembajakan terhadap pajak yang menguntungkan dirinya sendiri.
Sistem Cheos
Sistem pengamanan perpajakan dibuat cheos oleh para pembajak pajak. Ternyata para pembajak pajak tersebut dapat bermain dalam sistem tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang luar biasa besarnya terhadap dirinya sendiri.
Pembajak luwes membajak pajak karena bebasnya pegawai perpajakan melaksanakan tugas (kewenangan) yang ditentukan aturan formal, sehingga menimbulkan besarnya kemungkinan terjadinya pelanggaran/penyimpangan. Hal yang tidak di sadari bahwa dalam aturan tersebut terdapat “musuh tersebut” (a hidden enemy).
Banyaknya wajib pajak yang tidak mengerti mengenai pajak atau wajib pajak mengerti mengenai pajak tapi menginginkan pajak yang dibayarnya lebih rendah. Membuat peluang para pembajak pajak melancarkan aksinya.
Para pembajak pajak tersebut mendatangani wajib pajak yang tidak mengerti pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap pajak yang dibayarkan, dan menyatakan bahwa pajak yang dibayarkan kurang bayar. Terhadap wajib pajak ini pembajak akan mengenakan denda yang tinggi. Namun, bila wajib pajak meminta bantuan/kerjasama menyelesaikan masalah tersebut maka pembajak tersebut akan membantu dan memasukan denda tersebut dalam bangsa-ku nya.
Sedangkan bagi wajib pajak yang menginginkan membayar pajak dengan lebih rendah dari ketentuan yang tentunya melanggar peraturan perundang-undangan atau supaya menang gugatanya di pengadilan pajak, maka pembajak pajak ini akan membantu dengan senang hati. Pembajak ini akan melakukan aksinya membantu dengan dibantu oleh berbagai pihak. Pembajak pajak ini tidak dapat bekerja sendiri dalam melanjarkan aksinya. Disinilah cheosnya sistem perpajakan yang tidak dapat mengantisipasi permasalahan tersebut.
Pembajak dari oknum perpajakan semakin menari-nari keranjingan kegembiraan, karena audit kekayaan pejabat publik di Ditjen Pajak tidak dapat disentuh. Sebagaimana diungkap oleh Febri Diansyah (Kompas: 29/03/2010) Undang-undang baru mengatur kewajiban pelaporan harta kekayaan penyelenggara Negara, hanya terbatas pada pejabat tertentu saja dan cenderung terjebak pada kegiatan mengelola arsip atau dokumentasi. Tidak masuk lebih dalam pada kemungkinan memidanakan pegawai atau pejabat publik yang memperoleh kekayaan tak masuk akal.
Sifat bajak
Bajak merupakan suatu sifat seseorang yang menginginkan milik orang lain dengan jalan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sifat ini mendarah daging dalam diri seseorang. Sifat ini tidak dapat hilang dengan sendirinya. Hal tersebut terbukti, walaupun diberikan suatu kenikmatan seperti remunerasi ternyata sifat ini juga tidak dapat dihilangkan.
Oleh karena itu, maka dalam perekrutan pegawai di Ditjen Pajak perlu di tinjau ulang kembali. Disamping kemampuan akademik yang tinggi juga harus memperhatikan moralitas dan kredibilitas dari calon pegawai. Jangan hanya semata-mata yang ditonjolkan kepintaran dalam menyelesaikan soal-soal dan menjawab pertanyaan interview. Semestinya dalam interview hal yang lebih ditonjolkan kepada calon pegawai perpajakan adalah bagaimana untuk melihat sifat seseorang apakah miliki karakter pembajak atau tidak.
Ganyang Pembajak
Bila oknum-oknum pembajak di perpajakan tidak segera diganyang, maka pembangunan bagi Negara ini akan terhambat. Para wajib pajak yang membayar pajak akan siasa jika pajak yang dibayarkannya tersebut ternyata dibajak para pembajak pajak di lembaga perpajakan.
Pembajak pajak adalah orang-orang yang pintar yang berhati lintah. Selalu kehausan kekayaan. Menggunakan kepintarannya untuk merugikan keuangan Negara. Dibayar oleh Negara bukan untuk mendatangkan pemasukan buat Negara tapi mendatangkan kerugian buat Negara yang membayarnya.
Terhadap para pembajak ini, perlu dibereskan sesegaranya. Bila tidak kerugian Negara akan semakin besar. Bila kita bercermin dari kasus Gayus, yang mendapat uang suap mencapai Rp. 25 miliar dari sengketa pajak di pengadilan. Berarti, nilai penerimaan uang Negara pada berbagai sengketa di pengadilan pajak tentunya lebih besar lagi.
Namun untuk mengamankan pendapat Negara tersebut tidak perkara yang mudah. Perlu kerja ekstra keras dari pemerintah dan penegak hukum, karena bukan hanya sistem pengaman perpajakan yang perlu di tingkatkan, tapi mentalitas para pegawai perpajakan juga perlu dibenahi.
Pemerintah perlu serius menangani masalah ini. Sanksi yang tegas harus diberikan kepada pembajak pajak tersebut. Karena permasalahan ini seperti gunung es, masih banyak lagi oknum-oknum pegawai perpajakan yang menjadi pembajak. Mulai pembajak kelas teri sampai pembajak kelas kakap.
Bagi masyarakat, diharapkan jangan sinis terhadap permasalahan ini. Jangan karena masalah ini melakukan gerakan tidak membayar pajak. Karena tindakan tersebut merugikan bagi semua pihak. Negara akan sulit membiayai pembangunan. Apakah hal itu yang diinginkan?

Minggu, 21 Februari 2010

KRIMINALISASI PERNIKAHAN SIRI LANGAR HAM

Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perkawinan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. RUU Perkawinan tersebut digiring kearah kriminalisasi pernikahan siri. Penggiringan tersebut merupakan langkah mengkibiri dan tamparan terhadap Hak Asasi Manusia.
Nikah merupakan hak setiap orang yang diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (1), “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah menurut undang-undang di dasarkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam pandangan agama Islam Perkawinan merupakan bentuk ibadah. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa, “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah. Dalam menjalankan ibadah tersebut negara menjamin kemerdekaan. Hal tersebut sebagaiman termaktub dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap­tiap  penduduk  untuk  memeluk agamanya  masing­masing  dan  untuk  beribadat  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu”.
Kriminal atau Administrasi
Sebelum buru-buru melakukan kriminalisasi nikah sirih perlu untuk dipahami bagaimana konsep nikah sirih menurut pemerintah. Konsep nikah siri dalam pandangan pemerintah adalah pernikahan yang tidak dicatatkan di instansi yang berwenang. Artinya pencacatan merupakan pangkal awal permasalahan.
Konsep pencatatan merupakan hal yang bersifat administrasi. Guna dilakukan pencatatan tersebut adalah untuk tertib administrasi. Sungguh menganehkan, bila pencatatan yang merupakan hal yang bersifat administrasi dikriminalisaikan atau dimasukkan dalam zona pidana.
Dalam masyarakat budaya perkawinan berdasarkan kepada agama tanpa pencatatan ke instansi yang berwenang masih banyak dilakukan. Banyak faktor yang menumbuh sumburkan budaya nikah siri tersebut. Mulai dari mahalnya biaya pencatatan sampai memang malasnya masyarakat mengurus pencatatan. Bila pencatatan perkawinan dikriminalisasi, akan menimbulkan permasalahan baru dalam masyarakat. Bila ada seseorang yang melakukan perkawinan tidak dicatat maka polisi dapat melakukan tindakan dengan memprosesnya dan melakukan penahanan.
Orang yang baru berbahagia merayakan pernikahannya kemudian ditangkap karena tidak mencatatkan perkawinannya ke instansi yang berwenang. Tentunya akan menimbulkan keresahan sosial dalam masyarakat.
Apa yang dikriminalisasi
Pernikahan siri tidak seharusnya dikriminalisasi. ada hal lain yang semestinya dikriminalisasi menyangkut pernikahan siri tersebut. Pertama, paksaan untuk melakukan perkawinan. Perkawinan merupakan hal yang bersifat privat dan persetujuan dari para pihak. Tidak mungkin terjadi pernikahan bila para pihak tidak saling setuju. Bila ada paksaan dari salah satu pihak untuk melakukan perkawinan, maka perbuatan paksaan tersebutlah yang dikriminalasiskan.
Kedua, seharusnya yang dikriminalisasi pegawai atau aparat pemerintah yang tidak mengeluarkan akta pernikahan. Karena pencatatan pernikahan merupakan suatu hak. Karena dalam hak tidak ada sanksi kecuali itu kewajiban.
Hal ini serupa dengan akta kelahiran. Akta kelahiran bagi anak hak atau kewajiban. Tentunya hak, oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan. Bukannya pemerintah yang tinggal diambil dikantor dan nanti ada yang meminta akta kelahiran baru dibuatkan dengan mengenakan biaya. Seharunya pemerintah yang terjun kelapangan untuk memperhatikan masyarakat. Bila ada anak yang lahir, tanpa dilaporkan lagi, pemerintah sudah tau dan memberikan langsung akta kelahiran tanpa dipungut biaya. Itulah makna yang sebenarnya dari hak asasi tersebut.
Semestinya
Karena pernikahan merupakan hak. Seharusnya pencatatan perkawinan merupakan suatu kewajiban pemerintah.
Perlu dipahami, bahwa pemerintah lahir untuk melayani bukan untuk dilayani. Pemerintah memiliki perangkat dari pujuk tertinggi Presiden sampai yang terkecil RT (rukun tetangga). Oleh karena itu, perangkat inilah yang bekerja untuk masyarakat. bila ada masyarakat yang melangsungkan pernikahan maka pemerintahlah yang berperan aktif untuk mendatangi dan mencatat. Bukan sebaliknya yang berlangsung selama ini, orang yang akan menikah datang ke pemerintah untuk mencatatkan pernikahannya tersebut dan dikenakan biaya.
Oleh karena itu, perlu perubahan mindset oleh aparat pemerintah. Khususnya aparat pemerintah yang terkecil, seperti RT dan luruh. Bila ada warganya yang menikah maka ialah yang melaporkan ke instansi yang berwenang. Dan instansi yang berwenang tinggal menerbitkan akta nikah.

Sabtu, 20 Februari 2010

KRIMINALISASI NIKAH SIRI TAMPAR HUKUM ISLAM

Upaya kriminalisasi nikah siri dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perkawinan, yang mana setiap orang yang melakukan nikah siri akan dikenakan pidana. Upaya kriminalisasi tersebut mendapat sorotan tajam dari masyarakat.
Nikah merupakan hak setiap orang yang diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (1), “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah menurut undang-undang di dasarkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam pandangan agama Islam Perkawinan merupakan bentuk ibadah. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa, “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah. Dalam menjalankan ibadah tersebut negara menjamin kemerdekaan. Hal tersebut sebagaiman termaktub dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap­tiap  penduduk  untuk  memeluk agamanya  masing­masing  dan  untuk  beribadat  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu”.
Siri vs Islam
Nikah siri dalam konsep pemerintah adalah nikah yang tidak dicatat di instansi yang berwenang. Artinya disini pencatatan yang menjadi dasar sirinya tersebut. Tidak dicatatkannya perkawinan tersebut, bukan berarti perkawinan tersebut tidak syah. Perkawinan tersebut syah bila memenuhi persyaratan dan rukun nikah menurut agama dan kepercayaan.
Menurut hukum Islam pernikahan tersebut telah sah bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Bila pemerintah melarang pernikahan yang telah syah menurut hukum Islam tersebut lantaran tidak dicatat, jelas pemerintah telah menampar hukum Islam. Pemerintah bertentangan dengan hukum Islam.
Perlu ditekankan di sini, bukan berarti Islam melarang pernikahan untuk dicatat. Secara historis, Mesir pada tahun 1931 telah membentuk undang-undang perkawinan. Salah satu ketentuan yang dikandungnya adalah bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan yang dibuktikan dengan akta perkawinan yang resmi. Al-Sayyid Sabiq (Al-Sayyid: 1983) mengutip pasal tersebut sebagai berikut: “Pengakuan perkawinan atau pernyataan telah kawin tidak dapat diterima (apabila ada bantahan dari salah satu pihak atau pihak ketiga), kecuali apabila dibuktikan dengan akta perkawinan yang resmi”. Lebih lanjut dalam buku terjemahan kitab Fiqih al-Sunnat karya al-Sayyid Sabiq yang dilakukan oleh Agus Salim terdapat informasi mengenai anjuran pencatatan perkawinan (H.S. A. Al-Hamdani: 1989).
Pro aktif
Perkawinan bertujuan agar hidup manusia damai penuh dengan kasih sayang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan perkawinan itu manusia akan terhindar dari perbuatan (sex) yang keji dan kotor yang bisa menimbulkan kejahatan dan kerusakan. Seharusnya pemerintah tidak mengkriminalisasi nikah siri. Pemerintah semestinya melakukan peran yang bersifat aktif. Artinya pemerintah tidak menunggu pemberitahuan dari pihak yang akan melakukan perkawinan untuk dicatat perkawinannya tersebut seperti selama ini terjadi. Pemerintah langsung terjun ke lapangan, bila mengetahui telah terjadi pernikahan. Pemerintah langsung mencatat perkawinan tersebut.
Peran aktif pemerintah tersebut harus dilakukan. Karena pemerintah dibentuk untuk melayani masyarakat bukan untuk dilayani masyarakat. Pemerintah merupakan alat dari Negara untuk kesejahteraan warga Negara. Pemerintah mempunyai perangkat sampai yang terkecil.
Oleh karena itu, peran serta dari RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), dan lurah harus berperan aktif untuk melihat warganya. Bila ada yang melakukan pernikahan, maka perangkat pemerintah terkecil ini yang mengambil peran aktif, untuk mendaftarkan atau memberitahukan kepada instansi yang berwenang untuk mengeluarkan akta pernikahan.