Rabu, 21 Mei 2008

ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PILKADA

UPAYA melakukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya mengenai Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kearah yang lebih baik merupakan suatu keharusan. Namun, menjadi rancu bila ada upaya kearah tidak boleh pejabat yang masih menjabat untuk mencalonkan diri sebagai “kontestan” Pilkada sebelum pejabat tersebut berhenti atau mengundurkan diri dari jabatannya (incumbent). Pola fikir ini keliru, hal ini dikarenakan bahwa dalam kerangka Negara hukum (rechtstaat) setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).
Hal ini menunjukan bahwa para politikus tidak lagi percaya kepada para pemimpinnya baik yang telah maupun para pimpinan yang akan maju. Inilah yang kita katakana dengan suatu “sindrom” tidak percaya pada para pemimpin. Hal ini tidak terjadi seketika melainkan merupakan “akumulasi” pembelajaran selama ini. Sejak reformasi bergulir kita gampang memaki-maki, menghina dan menganggap orang salah. Hal tersebut terlihat sejak kita memaki-makai Pak Harto (Presiden Indonesia Kedua) tanpa melihat dari masalah objektifitas. Kita tidak melihat sesuatu secara objektif terhadap permasalahan yang terjadi dan lebih berpandangan subjektif.
Menimbulkan suatu pertanyaan, apakah sudah sedemikian parahnya kita tidak lagi percaya pada pimpinan. Bahkan “sindrom” ini menyebar kepada para pembuat undang-undang, legislatif pun berpandangan yang sama bahwa para pejabat yang masih menjabat akan memanfaatkan kekuasaannya dalam Pilkada.

Mindset

Incumbent merupakan hal biasa dilakukan dalam ranah demokrasi. Oleh karena itu tidak perlu mencurigai incumbent untuk menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan Pilkada bila ia tidak mengundurkan diri. Hal ini dilandaskan adanya asas dalam hukum yakni asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) yang dianut hukum nasional kita. Semua orang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan dari pengadilan yang bersifat final dan mengikat (In krach van gewijk). Namun asas diabaikan bahkan disingkirkan secara sistematis pada Pilkada. Kita lebih mengutamakan perasaan dan dugaan yang tak berdasar ketimbangan pandangan yang objektif terhadap suatu masalah.
Senada dengan hal di atas, pandangan ini dipengaruhi oleh kondisi di mana rakyat yang bodoh dan “tidak melek” hukum. Para politikus dengan gampangnya “menyotir” massa membuat suatu mindset yang keliru bahwa para peserta “kontestan” Pilkada incumbent harus melepaskan jabatannya untuk mencalonkan dirinya kembali. Masyarakat pun dengan mudah mengikuti alur pendapat para politikus tersebut, masyarakat berpikir pendek tanpa mengetahui maksud jangka panjang dari politikus tersebut. Semestinya hal itu tidak terjadi!

Facum of Power

Kekosongan kekuasaan di daerah akan menimbulkan hal yang fatal dalam roda pemerintahan daerah. Karena pengambilan kewenangan seperti mengeluarkan keputusan (baschiking) dan kebijakan harus dilakukan oleh aparat yang berwenang. Bila dilimpahkan kepada pihak lain, tentunya akan menghalangi perjalanan roda pemerintahan. Karena putusan dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah merupakan suatu perbuatan hukum yang harus dipertanggung jawabkan.
Memang dalam Pemerintahan ada suatu kewenangan yang diterima melalui attributif. Namun dalam hal pengambilan kewenangan pemerintah daerah harus dilakukan oleh Kepala Daerah itu sendiri tanpa harus di attributifkan pada pejabat yang lain. Bayangkan bila terjadi hal-hal yang darurat (bencana, kerusuhan atau tauran masal) itu semestinya diselesaikan secara cepat dan butuh kebijakan darurat dari Kepala daerah bukannya yang menerima kewenangan attributif.

Kuatkan hukum

Solusi yang harus dilakukan seharusnya adalah dengan memperkuat hukum. Buatlah peraturan dengan bahasa yang lugas, jelas dan tanpa ada banyak enterprestasi serta bersifat integral. Oleh karena itu para pembuat regulasi perlu untuk merunjuk kembali pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan demikian, para pejabat yang mau kembali mencalonkan diri sebagai “kontestan” Pilkada (incumbent) tidak masalah apakah ia mengundurkan diri atau tidak mengundurkan diri, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh KPUD dan tidak melanggar ketentuan undang-undang. Bila ternyata “kontestan” Pilkada yang masih menjabat tersebut menggunakan kewenangan atau kekuasaan “secara haram”, tentu dapat didiskualifikas dari gelanggang pesta rakyat. Bukan malah mengibiri hak asasi setiap masyarakat untuk ikut sebagai “kontestan” Pilkada. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pilkada lebih diperinci sehingga tidak ada daerah abu-abu dalam pelaksanaannya.
Namun, hal inilah “malas” dilakukan oleh legislator. Legislator lebih suka memotong “kompas” tanpa mencari solusi yang komprehensif dalam membuat regulasi dan lebih menonjolkan regulasi yang menguntungkan segelintir kelompoknya tanpa perhatian pada rakyat keseluruhan.