Senin, 20 April 2009

Carut Marut Kependudukan

Panggung politik 2009 semakin menarik untuk disaksikan. Pandangan, pendengaran dan pembicaraan masyarakat hari ini tak lepas dari hasil pemilu 2009 dan intrik apa yang terjadi untuk pemilihan presiden mendatang. Setelah diketahui perkiraan partai politik yang memenangkan pemilu dari hasil penghitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga surve.
Hal menarik sekarang adalah beramai-ramainya para elit politik yang tidak terpenuhi target politiknya untuk memenangi Pemilu menyerang pemerintah dan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Fokusnya tentang maraknya terjadi kecurangan dan pelanggaran Pemilu.
Salah satu bentuk kecurangan dan pelanggaran pemilu yang banyak disuarakan oleh para elit politik adalah mengenai DPT (Daftar Pemilih Tetap). Rizal Ramli (calon presiden dari Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia dan Partai Bintang Reformasi) (Kompas, 14/04/09) menuturkan bahwa DPT pemilu 2009 sangat buruk sehingga jutaan masyarakat yang ingin memilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Hal senada diutarakan oleh Eep Saefulloh Fatah (pemerhati politik dari Universitas Indonesia) dalam tulisannya (Kompas, 14/04/09), bahwa dosa besar pemilu 2009 adalah pencederaan hak-hak pemilih dalam bentuk kehilangan hak pilih karena tak tertera dalam DPT.
Melihat fenomena tersebut, perlu dilihat apa penyebab dibelakang terjadinya kekacauan DPT. Bila kita runut sampai ke akar persoalan, penyebab kekacauan DPT pemilu 2009 adalah tidak terlaksananya sistem kependudukan dengan baik. Hal tersebut terjadi karena masyarakat kurang memperhatikan kewajibannya untuk melaporkan peristiwa kependudukan, yakni pindah, datang, dan perubahan alamat dan tempat tinggal serta perubahan status kependudukan dari tempat tinggal sementara menjadi tinggal tetap kepada Instansi Pelaksana Kependudukan.
Sistem kependudukan sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007. Menilik dalam ketentuan kependudukan tergambar bahwa sistem yang digunakan adalah sistim de jure. Hal ini terlihat dari kewajiban penduduk untuk melaporkan peristiwa kependudukan, seperti pindah, datang, dan perubahan alamat dan tempat tinggal serta perubahan status kependudukan dari tempat tinggal sementara menjadi tinggal tetap dengan jangka waktu satu tahun. Hal mana kegiatan tersebut berimplikasi penerbitan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, surat keterangan kependudukan, dan lain-lain.
Konsekuensi dari menggunakan sistem de jure dalam kependudukan berakibat pada hak pilih. Dimana penduduk yang tidak masuk dalam sistem de jure (yang tidak merubah KTP nya) seperti pekerja musiman, pemilik rumah kontrakan dan tinggal ditempat lain, mahasiswa yang belajar ditempat lain bukan tempat asal (ngekos) tidak dapat menggunakan hak pilihnya tempat ia tinggal. Namun yang ajaibnya pada sistem kependudukan di Indonesia, mereka yang mempunyai izin tinggal sementara ini dapat membuat KTP baru tanpa ada surat keterangan kependudukan dari tempat tinggal asalnya, sehingga KTP mereka tersebut menjadi ganda (dua buah). Hal tersebutlah yang menunjukan parahnya sistem kependudukan. Dengan banyaknya KTP (Kartu Tanda Penduduk) ganda yang dimiliki oleh penduduk, inilah awal terjadinya kekisruhan DPT pemilu 2009. Seseorang yang mempunyai KTP ganda dapat melakukan pencontrengan dua kali.
Belajar dari Pemilu 9 April, supaya tidak lagi terjadi kericuhan mengenai DPT untuk masa mendatang khususnya untuk pemilihan presiden Juli 2009, maka perlu dilakukan pembenahan terhadap sistem kependudukan. Terutama sekali perlu peran aktif dari RT (Rukun Tetangga) untuk mendata warganya yang pindah, datang, dan perubahan alamat dan tempat tinggal serta perubahan status kependudukan dari tempat tinggal sementara menjadi tinggal tetap. Sehingga hak masyarakat untuk memilih tidak dikebiri.