Kamis, 07 Agustus 2008

Amankan Pengkreditan di Perbankan

Bank identik dengan kredit. Bank tanpa kredit seperti “makan tanpa samba lado”. Bank bertugas memberikan dan menyalurkan kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan).
Pada masyarakat “badarai” istilah kredit jarang dipergunakan, lebih “familiar” dengan istilah utang. Dahulu orang takut berutang. Tapi sekarang orang bangga mempunyai kredit (utang). Hal ini disebabkan karena paradigma sudah berubah. Orang yang mempunyai kredit dipandang orang yang dipercaya oleh bank atau ia seorang pengusaha.
Masalah kredit macet cukup banyak terjadi di perbankan bahkan sudah menjadi “air mandi”. Berbagai pengamatan kasus macetnya kredit, yaitu adanya indikasi bahwa calon debitur sudah mempersiapkan ”jurus-jurus licik” untuk mematuhi segala aturan dan perintah calon kreditur sebelum kredit dikucurkan. Tetapi sesudah dikucurkan maka semua aturan yang sudah disepakati tidak diingat lagi “insomnia” termasuk tujuan dari kredit  yang diambil tidak dipedulikan “cuek”.
Jamak ketahui, tidak jarang pihak bank untuk menarik pembayaran kembali kreditnya harus “mengemis-ngemis”. Dalam kondisi seperti ini maka yang dirugikan adalah pihak kreditur (bank). Posisi kreditur dalam kondisi seperti ini lemah. Upaya-upaya yang disediakan oleh sektor hukum dibidang kredit seringkali tidak memuskan, keluhan-keluhan sering terdengar dimana-mana.
Padahal dulu, ada anggapan bahwa kedudukan debitur selalu sebagai pihak yang lemah, namun pada beberapa dekade ini hal tersebut tak berlaku lagi “telah usang”. Dilain sisi dalam asumsi yuridis, debitur merupakan pihak yang lemah. Pendapat tersebut tetap kokoh dipegang, sehingga banyak ketentuan perjanjian kredit untuk menjamin amannya pemberian atau pembayaran kembali suatu kredit seringkali dimentahkan atau dibatalkan oleh Pengadilan.
Bila ditelisik lebih jauh, uang atau dana  pihak kreditur (bank) merupakan asset bagi kreditur (bank) sebelum dikucurkan kepada debitur (peminjam). Sesudah dilaksanakan perjanjian kredit dengan diberikannya uang kepada debitur (peminjam) maka pada saat itu hak milik langsung beralih kepada peminjam, sehingga peminjam sekarang menjadi pemilik (owner). Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 1755 KUHPerdata” Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik barang yang dipinjam; dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya”.
Disinilah berakibat timbulnya posisi “rawan” bagi kreditur (bank). Apabila debitur dikemudian hari tidak dapat melakukan kewajibannya untuk mengembalikan uang pinjaman sesuai dengan yang telah diperjanjikan, maka menimbulkan kredit macet (terjadi wanprestasi dari debitur). Karena posisi hukum peminjam sesudah dikucurkan kredit bukan lagi sebagai peminjam akan tetapi sudah menjadi pemilik (owner).
Oleh karena itu bank perlu mempersiapkan benteng supaya tidak terjadi “permainan” kredit yang menimbulkan kemacetan. Solusi prinsip yang menjadi acuan bagi perjanjian kredit yang sering teringat tapi kurang pelaksanaanya yakni prinsip kepercayaan dan prinsip kehati-hatian (prudent). Dua prinsip inilah pengaman dari pengkreditan diperbankan.