Selasa, 10 Juni 2008

NARKOBA DAN KORUPSI

Bergulir reformasi selama sepuluh tahun membawa perubahan yang drastis dalam penegakan hukum. Orang (naturlijk person) atau badan hukum (personal recht) yang selama ini dapat dikatakan tak terjamah hukum mulai memasuki ranah hukum. Sehingga tidak ada lagi istilah orang yang kebal hukum.
Penegakan hukum yang dapat mengjangkau semua lapisan masyarakat merupakan sesuatu hal yang membawa angin sorga. Namun demikian, ada hal yang mengganjal bila dilihat di lapangan. Saat ini dengan dalih penegakan hukum para oknum aparat penegak hukum mencoba untuk sembarangan menangkap, menahan atau menuntut seseorang guna mencapai target yang ditetapkan oleh pimpinannya. Bila target-target yang ditentukan tersebut tidak tercapai alhasil jabatan dan karir akan menjadi lenyap melayang. Disinilah terjadinya kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of justice).
Jamak mengetahui, bahwa untuk menghancurkan seseorang pada saat ini cukup dengan dua tindak pidana. Bagi kalangan biasa (masyarakat umum), yaitu dengan dugaan tindak pidana narkoba (narkotika dan psikotropika), sedangakan bagi para pejabat dan elit politik dengan isu dugaan tindak pidana korupsi.
Kenapa dengan dua tindak pidana tersebut dapat menghancurkan seseorang. Karena masyarakat lebih responsif terhadap kedua isu tindak pidana tersebut. Hal hasil, hal tersebut menggiring masyarakat untuk membuat suatu stigma bahwa memang orang tersebut atau pejabat dan elit politik itu adalah orang jahat (penjahat) yang perlu dipidana berat. Hal inilah perlu kita perlurus dan kita kembalikan pada relnya bahwa opini seperti itu dapat mematikan kewibawaan seseorang atau mematikan karir seorang pejabat.
Tidak ketinggalan bagi penegak hukum sendiri. Dengan isu dua tindak pidana tersebut dapat menaikan jenjang karirnya. Bahkan bagi pejabat negara kedua isu ini dapat menjadi bahan politik yang dapat mengalahkan rivalnya isu peningkatan perkembangan ekonomi yang memang saat ini lesu. Sungguh luar biasa kedua isu tindak pidana tersebut. Disatu sisi akan membawa kebaikan namun disisi lain justru melanggar Hak asasi seseorang.
Disisi yang ekstrim, dalam kasus tindak pidana narkoba dan tindak pidana korupsi, para saksi sangat ketakutan bila statusnya tiba-tiba dinaikkan menjadi tersangka, sehinga tidak heran jamak mengetahui bahwa orang yang terlibat dua tindak pidana tersebut dijadikan mesin ATM laksana sapi perah oleh oknum penegak hukum. Hal ini dalam praktek amat sering ditemukan, mengingat posisinya yang umumnya memang fragile, rentan. Karena itu, celakanya dalam praktek tidak pernah ada bertemu saksi yang mau melapor tindakan pemerasan oleh oknum aparat penegak hukum tersebut ke atasannya.

Masyarakat kritis
Dalam khasanah hukum, mengenal asas yang mengatakan bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewij). Asas ini sering disebut dengan asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocent). Asas praduga tidak bersalah ini termaktub dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Masyarakat harus mengerti bahwa stigma yang diutarakan untuk mengatakan orang bersalah itu sudah termasuk main hakim sendiri (eigen rechten) karena stigma sudah memvonis orang bersalah. Padahal sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang menentukan orang bersalah atau tidak merupakan kewenangan hakim, bukan polisi bukan juga jaksa ataupun masyarakat. Perlu untuk diperhatikan bahwa stigma dan opini-opini mengatakan orang sudah bersalah sebenarnya telah melanggar Hak asasi manusia.
Menimbulkan sebuah tanda tanya, mampukah para penegak hukum kita menjaga prinsip-prinsip peradilan yang tidak memihak (impartial) dan memastikan due process of law berjalan sesuai dengan jalurnya. Biar masyarakat yang menilainya.