Jumat, 06 Juni 2008

STOP EIGEN RECHTEN

Beberapa minggu belakangi ini kita menonton tanyangan dan membaca koran menenai aksi-aksi kekerasan dan main hakim sendiri (eigen rechten) oleh segelintir elemen bangsa. Memilukan hati, para anak bangsa yang katanya mau bangkit namun bukan semangat kebangkitan yang di pertontonkan namun kebrutalan yang dipertengahkan.
Apakah rasa kekeluarga dan saling menghormati yang sejak dulu ada dalam diri masyarakat udah mulai luntur atau memang bebetul sudah hilang tak berbekas. Ataukah individualis dan menganggab diri paling benar yang sebenarnya mulai menunujukan jati dirinya.

Pemerintah “gaca”
Disinilah tidak terlihatnya kewibawaan pemerintah. Pemerintah tidak tegas dan kurang responsif dalam menghadapi permasalahan, bak istilah minang “gaca” atau penakut. Ungkapan ini pas diutarakan kepada pemerintah karena pemerintah tidak dapat cepat dapat mengambil sikap. Terlalu banyak pertimbangan atau hal tersebut hanya untuk mengulur waktu guna mengalihkan masyarakat dari isu kenaikan BBM.
Dalam Negara yang demokrasi pancasila, pemerintah seharusnya sebagai pelindung dan pengayom serta pemutus suatu peristiwa. Hal ini disadari oleh pemeintah namun hal itu sengaja “diimsomniakan”. Pemerintah yang mempunyai kekuatan memaksa dan mengambil keputusan seharusnya dapat dengan segera menggunakan kekuatan tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan sehingga terjadilah konflik.

Konfilk horizontal
Sebenarnya mindset masyarakat perlu diluruskan, bahwa kita bukan berkonflik dengan sesama kita. Apa yang terjadi baru-baru ini antara FPI (Front Pembela Islam) dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas, aksi kekerasan ini merupakan tragedi. Sehararusnya konflik tersebut tidak sesama masyarakat melainkan kepada pemerintah. Karena pemerintahlah yang memutuskan setiap kebijakan dan pengambil keputusan. Bila telah diputuskan oleh pemerintah maka kita sebagai rakyat harus tunduk pada putusan tersebut. Walaupun hal tersebut bukan sesuatu hal yang terbaik bagi sekolompok yang lain.
Oleh karena itu setiap aksi kekerasaan antara warga Negara tidak perlu terjadi. Bila hal tersebut disadari oleh masyarakat. Sikap-sikap memaksakan kehendak bukanlah hal yang dibenarkan. Gunakanlah dialog sebagai jalur penyelesaian terbaik. Bila tidak juga menemukan jalan keluarnya baru gunakan jalur hukum.
Negara kita adalah Negara hukum yang demokrasi pancasila. Karena kita telah menerima pilihan demokrasi kita harus berani mengambil konsekuensinya. Kita perlu menghargai setiap perbedaan, hal ini yang mungkin terlupakan. Buat apa para pendiri bangsa (fundingfather) meramu dan mengunakan istilah bhinneka tunggal ika, karena para pemimpin kita sadar bahwa Negara ini ada karena perbedaan tersebut. Perbedaan tersebut membuat kita kuat, bukan malah sebaliknya membuat kita hancur. Oleh karena itu para elem bangsa perlu “merenung” tentang hal tersebut.
Negara hukum juga membawa konsekuensi bahwa dilarang melakukan main hakim sendiri (eigen rechten). Hukum harus dijadikan “kompas” dalam kehidupan, bukan hanya bagi penegak hukum tapi juga bagi masyarakat. Karena selama ini kita lebih responsif jika ada aparat yang tidak mematuhi hukum, dan sebaliknya bila ada masyarakat lain yang tidak mematuhi hukum kita “tutup mata”. Ibarat Kok tibo dimato dipiciangkan kok tibo di paruik di kampihkan. Hal tersebutlah yang perlu kita perbaiki. Guna tetap abadinya kesatuan Negara yang kita cintai ini.