Minggu, 13 Juli 2008

Pedang Kedua Basmi Korupsi

Dua dalam satu, tiga kata yang cocok menggambarkan dua instrumen hukum dalam satu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini. Aspek pidana yang merupakan hal utama dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, namun aspek substansial nuansa hukum perdata eksis dalam upaya mengembalikan aset pelaku korupsi kepada negara. Disinilah tergambar ada gabungan antara jalur kepidanaan (criminal procedure) dan jalur keperdataan (civil procedure) dalam kebijakan legislasi guna memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam perkara korupsi sebagaimana termaktub dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 serta Pasal 38C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, mengatur mengenai pengembalian asset hasil korupsi melalui gugatan perdata. Ketentuan tersebut memberikan kewenagan kepada Jaksa Pengacara Negara mengajukan gugatan perdata kepada tersangka atau terdakwa atau terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan.
Ruang gerak dan dimensi lebih dinamis diberikan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi bagi penegak hukum khususnya Kejaksaan. Penulis dapat menggambarkan dalam penanganan korupsi Kejaksaan mempunyai “dua pedang” di tangannya, bila pedang yang satu tumpul maka digunakan pedang yang lain. Gambaran ini yang tepat diberikan bagi Kejaksaan.
Namun apa yang terjadi saat ini Kejaksaan sebagai penegak hukum tidak menggunakan “pedang kedua” (instrument hukum perdata). Instrument hukum perdata jarang digunakan pada kasus korupsi kecuali pada kasus Pak Harto (mantan presiden kedua Indonesia). Contoh dalam kasus BLBI yang nyata telah ada kerugian keuangan negara, namun instrument hukum perdata tidak digunakan untuk menggembalikan asset Negara.
Ditilik dari praktek penegakan hukum kasus korupsi sering kandas melalui jalur pidana. Sehingga apa yang menjadi sprit undang-undang korupsi guna mengembalikan asset kedalam keuangan negara jadi “mandul”.
Pengembalian aset melalui instrumen hukum keperdataan dapat dilakukan melalui jalan: Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi (Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijdse) (Pasal 34 dan Pasal 38 ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Untuk mempertegas bahwa instrumen hukum perdata dalam perkara korupsi hanya dapat dilakukan bila telah ada secara nyata kerugian keuangan negara.
Untuk itu Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili negara dan pemerintahan, khususnya bagi Jaksa Pengacara Negara dalam hal perdata dan tata usaha negara (Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004) untuk dapat memaksimalkan kerjanya dalam upaya pengembalian asset. Sehingga asset yang telah di korup oleh para koruptor dapat kembali ke keuangan negara.
Kalau kita dapat mengembalikan asset negara yang dikorup, tentunya dengan asset tersebut negara ini dapat melalui masa krisis. Karena dengan asset tersebut akan dapat menggerakan roda ekonomi rakyat atau lebih ekstrimnya harga minyak (BBM) tidak harus di naikkan seperti kondisi saat ini.