Selasa, 27 Oktober 2009

TSUNAMI PHK PASCA GEMPA

Pasca gempa tanggal 30 September 2009, warga masyarakat Sumatera Barat akan dilanda Tsunami. Tsunami yang datang tersebut bukanlah dalam bentuk naiknya air laut ke permukaan seperti di Aceh, tetapi tsunami tersebut muncul kepermukaan dalam bentuk persoalan hukum mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dalam berbagai berbentuk peristilahan diantaranya dirumahkan, dan diminta mengundurkan diri.
Tsunami tersebut sudah mulai kelihatan. Seperti telah mulai ada pemberitaan mengenai PHK beberapa perusahaan diantaranya Hotel Ambacang, Rumah Sakit BMC, Hotel Bumi Minang dan lain-lain.
Tempat kerja yang sudah roboh, atau tidak layak digunakan lagi atau masih layak digunakan dengan perbaikan yang membutuhkan waktu yang lama. Tidak hanya renovasi dan pembangunan gedung tapi untuk membutuhkan waktu yang lama. Enam bulan sampai setahun untuk dapat pulihnya. Akibatnya pihak pengusaha mengalami kerugian yang amat besar diantaranya biaya untuk melakukan renovasi dan mengganti peralatan yang rusak dan membayar gaji para karyawannya.
Para tenaga kerja tentunya menuntut hak-haknya kalau di PHK. Sesuai dengan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja harus diberikan haknya bila di PHK diantaranya uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (seperti cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Maka wajar bila demontrasi tenaga kerja tak dapat dihindari. Karena tenaga kerja meminta suatu kepastian.
Pengusaha banyak yang mengeluhkan tidak memiliki dana yang besar untuk merenovasi gedung sampai membayar gaji karyawan. Jika memang para tenaga kerja meminta hak-haknya tentunya asset dari perusahaan perlu dijual terlebih dahulu untuk membayarkan uang pesangaon dan gaji karyawan. Lantas menimbulkan persoalan baru. Siapa yang akan membeli asset perusahaan tersebut. Bila asset perusahaan tersebut dijual tentunya membutuhkan waktu yang lama. Lantas bagaima dengan nasib tenaga kerja.
Pihak pemerintah mengatakan supaya pihak pengusaha tidak melakukan PHK. Namun hal tersebut bukanlah hal yang bijaksana. Seharusnya pemerintah memberikan solusi dan jangan mengatakan tidak boleh PHK saja. Jangan pemerintah mengalihkan tanggung jawab tenga kerja kepada pengusaha. Dalam kondisi benca ini pemerintah juga mempunyai tanggung jawab sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Karena pengusaha dan tenaga kerja merupakan korban dari bencana.

Tsunami PHK vs Pertumbuhan Ekonomi
Dilain sisi tsunami PHK ini bila tidak ditangani dengan baik maka roda perekonomian Sumatera Barat akan menjadi lumpuh. Pengusaha akan sibuk mengurus PHK karyawan sehingga tidak terpikir lagi untuk membangun bisnisnya. Sehingga bila hal ini terjadi maka pertumbuhan ekonomi akan menjadi melambat.
Dilain pihak pemerintah hanya memberikan pemaksaan kepada pengusaha. Sehingga pengusaha tidak dapat berbuat banyak. Seharusnya pemerintah memberikan bantuan dana bencana perbaikan ekonomi, keringanan pajak, mempermudah administrai perizinan.
Karena pihak pemerintah tidak memberikan kemudahan kepada pengusaha sehingga pengusaha akan takut melakukan investasi ke Sumatera Barat. Padahal kita mengetahui bahwa Sumatera Barat adalah daerah yang minim investasi dengan segudang persoalan. Apakah kita mau menambah kerumitan investasi lagi di negeri minang ini.

Duduk bersama
Untuk mengusir tsunami PHK tersebut perlu ada suatu kerja sama dari semua pihak (tenaga kerja, serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah). Duduk bersama untuk membahas permasalahan PHK tersebut merupakan solusi yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dikenal adanya Bipatrit dan Tripartit guna menyelesaikan permasalahan hubungan industrial. Jangan menonjolkan egoistis masing-masing, karena bila hal tersebut dilakukan maka penyelesaian secara jernih guna mencari solusi yang tepat tentu tidak akan diperoleh.
Pemerintah seharusnya sebagai fasilitator untuk melakukan duduk bersama tersebut. Karena permasalah PHK yang terjadi saat ini bukanlah satu atau dua perusahaan saja yang melakukannya, tapi banyak perusahaan. Penyelesaian per perusahaan tidak dimungkinkan untuk dilakukan. PHK yang terjadi karena suatu peristiwa yang force majuer dan penanganannya juga perlu yang force majuer juga jangan memakai penangan secara normal lagi.