Jumat, 29 Agustus 2008

JADIKAN PATEN SOLUSI ENERGI

Beberapa dekade ini Indonesia mengalami krisis energi. Listrik yang menjadi sumber energi utama terus mati setiap hari. Tanpa listrik serasa hidup dimasa “purba”. Menurut Singgalang (08-08-2008) hingga pertengahan tahun depan (2009) Sumbar masih dihadapkan pada krisis energi listrik. Saat ini sedikitnya 42 dari 110 pembangkit listrik yang tersambung dalam sistem interkoneksi Sumatera mengalami perawatan berkala.
Hal yang serupa juga terjadi di bahan bakar. Dalam masa pemerintahan SBY (Susilo Bamabang Yudhoyono) sudah dua kali kenaikan bahan bakar. Disamping harganya naik juga terjadi kelangkaan di daerah-daerah tertentu.
Melihat krisis energi yang terjadi, perlu rasanya menemukan segera solusi. Salah satu solusi yang perlu kita perhatikan adalah paten. Karena paten ini sering “diabaikan”, dia ada tapi tak dianggap penting.
Paten erat hubungannya dengan teknologi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001, paten adalah hak eksklusif yang diberikan Negara kepada penemu atau investor atau hasil penemuannya atau invensinya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya atau invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya.
Kompas (15-08-2008) menyebutkan bahwa 60.000 paten yang terdaftar di Direktur Paten Ditjen HKI, 191 diantaranya merupakan paten dibidang energi. Dari 191 paten tersebut, 30 paten diantaranya adalah atas nama warga Negara Indonesia. Paten itu antara lain berupa mesin penghenat konsumsi bahan baker minyak (BBM), penghemat listrik tenaga air sederhana, kompor gas model kompor minyak tanah, penggerak turbin dan mesin motor.
Namun, belum familiarnya paten dibidang energi tersebut disebabkan masih kurangnya promosi dari pemilik paten. Sehingga paten tersebut kurang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Milik publik
Suatu teknologi yang dipatenkan mempunyai batas waktu. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten menyatakan “Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.
Lain hal untuk paten sederhana. Paten sederhana yaitu setiap invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya (Pasal 6 Undang-Undang Paten). Untuk jangka waktu perlindungan paten sederhana tersebut 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 9 Undang-Undang Paten).
Dengan berakhirnya jangka waktu paten tersebut, paten menjadi milik publik. Artinya masyarakat dapat menggunakan paten tersebut tanpa memberikan pembayaran kepada pemilik paten.
Disinilah tergamabar fungsi paten secara positif, yakni terjadinya peralihan teknologi (transfer of technology). Sehingga masyarakat Indonesia tidak ketinggalan teknologi. Bukan hanya untuk itu paten yang telah habis masa perlindungan yang diberikan oleh Negara dapat digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu program penggunaan paten, khususnya di bidang energi secara professional oleh masyarakat untuk mengatasi krisis energi saat ini. Bila program tersebut terlaksana dengan baik tentunya krisis energi yang terjadi dapat di atasi. Disamping itu perlu keseriusan dari pemerintah sebagai fasilitator penggerak menuju hal tersebut untuk ditunjukan.

Kamis, 07 Agustus 2008

Amankan Pengkreditan di Perbankan

Bank identik dengan kredit. Bank tanpa kredit seperti “makan tanpa samba lado”. Bank bertugas memberikan dan menyalurkan kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan).
Pada masyarakat “badarai” istilah kredit jarang dipergunakan, lebih “familiar” dengan istilah utang. Dahulu orang takut berutang. Tapi sekarang orang bangga mempunyai kredit (utang). Hal ini disebabkan karena paradigma sudah berubah. Orang yang mempunyai kredit dipandang orang yang dipercaya oleh bank atau ia seorang pengusaha.
Masalah kredit macet cukup banyak terjadi di perbankan bahkan sudah menjadi “air mandi”. Berbagai pengamatan kasus macetnya kredit, yaitu adanya indikasi bahwa calon debitur sudah mempersiapkan ”jurus-jurus licik” untuk mematuhi segala aturan dan perintah calon kreditur sebelum kredit dikucurkan. Tetapi sesudah dikucurkan maka semua aturan yang sudah disepakati tidak diingat lagi “insomnia” termasuk tujuan dari kredit  yang diambil tidak dipedulikan “cuek”.
Jamak ketahui, tidak jarang pihak bank untuk menarik pembayaran kembali kreditnya harus “mengemis-ngemis”. Dalam kondisi seperti ini maka yang dirugikan adalah pihak kreditur (bank). Posisi kreditur dalam kondisi seperti ini lemah. Upaya-upaya yang disediakan oleh sektor hukum dibidang kredit seringkali tidak memuskan, keluhan-keluhan sering terdengar dimana-mana.
Padahal dulu, ada anggapan bahwa kedudukan debitur selalu sebagai pihak yang lemah, namun pada beberapa dekade ini hal tersebut tak berlaku lagi “telah usang”. Dilain sisi dalam asumsi yuridis, debitur merupakan pihak yang lemah. Pendapat tersebut tetap kokoh dipegang, sehingga banyak ketentuan perjanjian kredit untuk menjamin amannya pemberian atau pembayaran kembali suatu kredit seringkali dimentahkan atau dibatalkan oleh Pengadilan.
Bila ditelisik lebih jauh, uang atau dana  pihak kreditur (bank) merupakan asset bagi kreditur (bank) sebelum dikucurkan kepada debitur (peminjam). Sesudah dilaksanakan perjanjian kredit dengan diberikannya uang kepada debitur (peminjam) maka pada saat itu hak milik langsung beralih kepada peminjam, sehingga peminjam sekarang menjadi pemilik (owner). Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 1755 KUHPerdata” Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik barang yang dipinjam; dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya”.
Disinilah berakibat timbulnya posisi “rawan” bagi kreditur (bank). Apabila debitur dikemudian hari tidak dapat melakukan kewajibannya untuk mengembalikan uang pinjaman sesuai dengan yang telah diperjanjikan, maka menimbulkan kredit macet (terjadi wanprestasi dari debitur). Karena posisi hukum peminjam sesudah dikucurkan kredit bukan lagi sebagai peminjam akan tetapi sudah menjadi pemilik (owner).
Oleh karena itu bank perlu mempersiapkan benteng supaya tidak terjadi “permainan” kredit yang menimbulkan kemacetan. Solusi prinsip yang menjadi acuan bagi perjanjian kredit yang sering teringat tapi kurang pelaksanaanya yakni prinsip kepercayaan dan prinsip kehati-hatian (prudent). Dua prinsip inilah pengaman dari pengkreditan diperbankan.

Minggu, 13 Juli 2008

Pedang Kedua Basmi Korupsi

Dua dalam satu, tiga kata yang cocok menggambarkan dua instrumen hukum dalam satu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini. Aspek pidana yang merupakan hal utama dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, namun aspek substansial nuansa hukum perdata eksis dalam upaya mengembalikan aset pelaku korupsi kepada negara. Disinilah tergambar ada gabungan antara jalur kepidanaan (criminal procedure) dan jalur keperdataan (civil procedure) dalam kebijakan legislasi guna memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam perkara korupsi sebagaimana termaktub dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 serta Pasal 38C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, mengatur mengenai pengembalian asset hasil korupsi melalui gugatan perdata. Ketentuan tersebut memberikan kewenagan kepada Jaksa Pengacara Negara mengajukan gugatan perdata kepada tersangka atau terdakwa atau terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan.
Ruang gerak dan dimensi lebih dinamis diberikan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi bagi penegak hukum khususnya Kejaksaan. Penulis dapat menggambarkan dalam penanganan korupsi Kejaksaan mempunyai “dua pedang” di tangannya, bila pedang yang satu tumpul maka digunakan pedang yang lain. Gambaran ini yang tepat diberikan bagi Kejaksaan.
Namun apa yang terjadi saat ini Kejaksaan sebagai penegak hukum tidak menggunakan “pedang kedua” (instrument hukum perdata). Instrument hukum perdata jarang digunakan pada kasus korupsi kecuali pada kasus Pak Harto (mantan presiden kedua Indonesia). Contoh dalam kasus BLBI yang nyata telah ada kerugian keuangan negara, namun instrument hukum perdata tidak digunakan untuk menggembalikan asset Negara.
Ditilik dari praktek penegakan hukum kasus korupsi sering kandas melalui jalur pidana. Sehingga apa yang menjadi sprit undang-undang korupsi guna mengembalikan asset kedalam keuangan negara jadi “mandul”.
Pengembalian aset melalui instrumen hukum keperdataan dapat dilakukan melalui jalan: Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi (Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijdse) (Pasal 34 dan Pasal 38 ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Untuk mempertegas bahwa instrumen hukum perdata dalam perkara korupsi hanya dapat dilakukan bila telah ada secara nyata kerugian keuangan negara.
Untuk itu Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili negara dan pemerintahan, khususnya bagi Jaksa Pengacara Negara dalam hal perdata dan tata usaha negara (Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004) untuk dapat memaksimalkan kerjanya dalam upaya pengembalian asset. Sehingga asset yang telah di korup oleh para koruptor dapat kembali ke keuangan negara.
Kalau kita dapat mengembalikan asset negara yang dikorup, tentunya dengan asset tersebut negara ini dapat melalui masa krisis. Karena dengan asset tersebut akan dapat menggerakan roda ekonomi rakyat atau lebih ekstrimnya harga minyak (BBM) tidak harus di naikkan seperti kondisi saat ini.

Jumat, 04 Juli 2008

DILEMA BANTUAN HUKUM

Jamak mungkin pernah mendengar seseorang yang ditangkap atau ditahan yang mana dalam tahanan mereka tersebut disiksa untuk mendapatkan pengakuan seperti dipukul dengan mata tertutup, atau diperintahkan makan kertas dan bentuk kekerasan lainnya. Atau pernah mendengar seorang yang ditahan karena diduga melakukan suatu tindak pidana, namun sudah dua minggu ditahan pemeriksaan terhadapnya hanya dilakukan satu kali saja. Bagi yang tidak pernah mengalami baik pribadi atau keluarga akan mengatakan tidak mungkin. Namun bagi yang pernah mengalami pasti akan setuju dengan apa yang penulis paparkan.
Apalagi bila yang mengalami penangkapan atau penahanan adalah masyarakat miskin dan buta hukum. Para oknum penegak hukum akan memandang orang ini bagaikan “makanan enak” yang siap untuk disantap. Sehingga bantuan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang hanya bagaikan “nada-nada indah” tanpa dapat diwujudkan (diimplementasikan) dalam prakteknya. Disamping itu pengadilan tempat pencari keadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, sudah mulai jauh dari harapan masyarakat.
Kekuasaan atau kewenagan yang bebas bagi aparatur penegak hukum melaksanakan dalam melaksanakan tugas (kewenangan) yang ditentukan oleh aturan formal yang tidak luwes, mengandung resiko semakin besar kemungkinan terjadinya (penyelewengan) karena pada dasarnya aturan itu merupakan “musuh tersembunyi” (a hidden enemy) (Philippe Nonet & Philip Selznick, 1979, hal 4-5).
Bagaikan dua alam yang berbeda bagi para pencari keadilan yang memiliki uang (ber-uang), ia akan mendapatkan bantuan hukum ataupun jasa hukum dari Advokat. Tidak hanya itu perlakuan dari para oknum penegak hukum akan lebih sopan. Maka tidak heran bila dalam proses peradilan pidana (criminal justice) sering terjadi kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of justice).
Sudah lumrah bilamana ada sebagian masyarakat yang menyebut jasa hukum atau bantuan hukum tersebut sifatnya lebih mirip bisnis dan komersial. Itu sebabnya bantuan hukum atau jasa hukum merupakan komoditi atau barang mewah yang hanya dapat dijangkau oleh orang kaya yang banyak uang. Bagi yang tidak punya uang, yang tergolong rakyat jelata istilah halusnya miskin, akan kewalahan untuk mendapat dan didampingi pembelaan di dalam melindungi dan memepertahankan hak-hak dan martabat kemanusiaannya.
Hukum dipandang tidak lagi hanya menampakkan nilai-nilai yang sudah mapan, melainkan lebih dari itu, hukum semakin banyak dipakai untuk menyalurkan kebijaksanaan pembangunan oleh negara. Di samping itu hukum tidak hanya dikontruksikan sebagai tindakan-tindakan mengeluarkan peraturan-peraturan hukum secara formal saja (ius contitum), melainkan kita akan melihat pula bagaimanakah hukum itu berkiprah di dalam masyarakat (ius operatum) dimana (program) bantuan hukum berada dalam kerangka ini.
Disisi lain, disinilah pentingnya dan strategisnya hak untuk didampingi Penasihat Hukum (Advokat) yang merupakan sesuatu imperatif dalam rangka mencapai proses hukum yang adil dan menemukan kepastian hukum. Kehadiran penasihat hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dari penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, dan proses persidangan. Dengan demikian masyarakat perlu untuk memahami hal tersebut, namun tidak hanya masyarkat tapi juga para Penasihat Hukum (Advokat) itu sendiri untuk dapat memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.

Rabu, 25 Juni 2008

POLEMIK HAK CIPTA TINGGAL KENANGAN

Gonjang ganjing mengenai banyaknya pihak yang mengklaim lagu Tinggal Kenangan sebagai lagu ciptaannya. Lagu Tinggal Kenangan yang konon katanya merupakan ciptaan dari seorang wanita yang bernama Geby yang katanya sudah meninggal karena bunuh diri lantaran ditinggal meninggal kekasihnya yang kecelakan lalu lintas. Perbutan klaim mengklaim hak cipta lagu tersebut belum menyentuh kasanah hukum hak cipta, masih bergutat pada media massa.
Maka bagaimana hukum hak cipta memandang tentang gonjang ganjing permasalahan tersebut. Masyarakat harus mengertian terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak cipta. Menilik pengertian hak cipta secara yuridis, kita dapat lihat dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (yang disingkat dengan UUHC 2002) menyebutkan bahwa hak cipta adalah “hak eksklusif” bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, unsur-unsur hak cipta dari defenisi di atas dapat di bagi atas tiga, yaitu: a. hak memperbanyak (reproduction right); b. hak mengumunkan (publishing right); c. hak memberi izin untuk memperbanyak dan mengumumkan (assignment right)
Sesuai dengan yang diatur pada Bab IV UUHC 2002, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephum dan HAM). Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya kepada intansi di atas maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UUHC 2002 Pasal 37 ayat (2)). Lebih lanjut mengenai prosedur pendaftaran hak cipta diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-HC.03.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan.
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta dalam artian tidak wajib untuk didaftarkan. Timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran ciptaan tersebut kepada instansi yang ditunjuk untuk itu. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Hal ini senada dengan Penjelasan Pasal 5 ayat 2 UUHC 2002 yang menerangkan bahwa “pada prinsipnya hak cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjdai sengketa di pengadilan mengenai ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) huruf a dan huruf b serta apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut”.
Dengan uraian tersebut terlihatlah bahwa pendaftaran hak cipta merupakan formalitas untuk memudahkan untuk membuktikan bahwa ciptaan yang dihasilkan merupakan milik pencipta bila terjadi sengketa. Namun tanpa pendaftaranpun hak cipta sudah dilindungi sebenarnya sejak ciptaan tersebut dipublikasikan didepan umum dan hal itu dapat dibuktikan.
Oleh karena itu untuk mengakhiri konflik yang saling mengklaim lagu Tinggal Kenangan lebih baik masuk kekasanah hukum (pengadilan). Hal ini untuk dapat dibuktikan secara hukum siapa yang sebenarnya yang berhak atas ciptaan tersebut. Dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah van gewijk) dapat mengikat semua orang sehingga hak-hak dari pencipta dapat dilindungi.
Sebagai tambahan untuk diketahui bahwa Hak cipta atas lagu memiliki waktu perlindungan selama hidup penciptanya dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia (Pasal 29 ayat (1) UUHC 2002).

Selasa, 10 Juni 2008

NARKOBA DAN KORUPSI

Bergulir reformasi selama sepuluh tahun membawa perubahan yang drastis dalam penegakan hukum. Orang (naturlijk person) atau badan hukum (personal recht) yang selama ini dapat dikatakan tak terjamah hukum mulai memasuki ranah hukum. Sehingga tidak ada lagi istilah orang yang kebal hukum.
Penegakan hukum yang dapat mengjangkau semua lapisan masyarakat merupakan sesuatu hal yang membawa angin sorga. Namun demikian, ada hal yang mengganjal bila dilihat di lapangan. Saat ini dengan dalih penegakan hukum para oknum aparat penegak hukum mencoba untuk sembarangan menangkap, menahan atau menuntut seseorang guna mencapai target yang ditetapkan oleh pimpinannya. Bila target-target yang ditentukan tersebut tidak tercapai alhasil jabatan dan karir akan menjadi lenyap melayang. Disinilah terjadinya kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of justice).
Jamak mengetahui, bahwa untuk menghancurkan seseorang pada saat ini cukup dengan dua tindak pidana. Bagi kalangan biasa (masyarakat umum), yaitu dengan dugaan tindak pidana narkoba (narkotika dan psikotropika), sedangakan bagi para pejabat dan elit politik dengan isu dugaan tindak pidana korupsi.
Kenapa dengan dua tindak pidana tersebut dapat menghancurkan seseorang. Karena masyarakat lebih responsif terhadap kedua isu tindak pidana tersebut. Hal hasil, hal tersebut menggiring masyarakat untuk membuat suatu stigma bahwa memang orang tersebut atau pejabat dan elit politik itu adalah orang jahat (penjahat) yang perlu dipidana berat. Hal inilah perlu kita perlurus dan kita kembalikan pada relnya bahwa opini seperti itu dapat mematikan kewibawaan seseorang atau mematikan karir seorang pejabat.
Tidak ketinggalan bagi penegak hukum sendiri. Dengan isu dua tindak pidana tersebut dapat menaikan jenjang karirnya. Bahkan bagi pejabat negara kedua isu ini dapat menjadi bahan politik yang dapat mengalahkan rivalnya isu peningkatan perkembangan ekonomi yang memang saat ini lesu. Sungguh luar biasa kedua isu tindak pidana tersebut. Disatu sisi akan membawa kebaikan namun disisi lain justru melanggar Hak asasi seseorang.
Disisi yang ekstrim, dalam kasus tindak pidana narkoba dan tindak pidana korupsi, para saksi sangat ketakutan bila statusnya tiba-tiba dinaikkan menjadi tersangka, sehinga tidak heran jamak mengetahui bahwa orang yang terlibat dua tindak pidana tersebut dijadikan mesin ATM laksana sapi perah oleh oknum penegak hukum. Hal ini dalam praktek amat sering ditemukan, mengingat posisinya yang umumnya memang fragile, rentan. Karena itu, celakanya dalam praktek tidak pernah ada bertemu saksi yang mau melapor tindakan pemerasan oleh oknum aparat penegak hukum tersebut ke atasannya.

Masyarakat kritis
Dalam khasanah hukum, mengenal asas yang mengatakan bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewij). Asas ini sering disebut dengan asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocent). Asas praduga tidak bersalah ini termaktub dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Masyarakat harus mengerti bahwa stigma yang diutarakan untuk mengatakan orang bersalah itu sudah termasuk main hakim sendiri (eigen rechten) karena stigma sudah memvonis orang bersalah. Padahal sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang menentukan orang bersalah atau tidak merupakan kewenangan hakim, bukan polisi bukan juga jaksa ataupun masyarakat. Perlu untuk diperhatikan bahwa stigma dan opini-opini mengatakan orang sudah bersalah sebenarnya telah melanggar Hak asasi manusia.
Menimbulkan sebuah tanda tanya, mampukah para penegak hukum kita menjaga prinsip-prinsip peradilan yang tidak memihak (impartial) dan memastikan due process of law berjalan sesuai dengan jalurnya. Biar masyarakat yang menilainya.

Jumat, 06 Juni 2008

STOP EIGEN RECHTEN

Beberapa minggu belakangi ini kita menonton tanyangan dan membaca koran menenai aksi-aksi kekerasan dan main hakim sendiri (eigen rechten) oleh segelintir elemen bangsa. Memilukan hati, para anak bangsa yang katanya mau bangkit namun bukan semangat kebangkitan yang di pertontonkan namun kebrutalan yang dipertengahkan.
Apakah rasa kekeluarga dan saling menghormati yang sejak dulu ada dalam diri masyarakat udah mulai luntur atau memang bebetul sudah hilang tak berbekas. Ataukah individualis dan menganggab diri paling benar yang sebenarnya mulai menunujukan jati dirinya.

Pemerintah “gaca”
Disinilah tidak terlihatnya kewibawaan pemerintah. Pemerintah tidak tegas dan kurang responsif dalam menghadapi permasalahan, bak istilah minang “gaca” atau penakut. Ungkapan ini pas diutarakan kepada pemerintah karena pemerintah tidak dapat cepat dapat mengambil sikap. Terlalu banyak pertimbangan atau hal tersebut hanya untuk mengulur waktu guna mengalihkan masyarakat dari isu kenaikan BBM.
Dalam Negara yang demokrasi pancasila, pemerintah seharusnya sebagai pelindung dan pengayom serta pemutus suatu peristiwa. Hal ini disadari oleh pemeintah namun hal itu sengaja “diimsomniakan”. Pemerintah yang mempunyai kekuatan memaksa dan mengambil keputusan seharusnya dapat dengan segera menggunakan kekuatan tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan sehingga terjadilah konflik.

Konfilk horizontal
Sebenarnya mindset masyarakat perlu diluruskan, bahwa kita bukan berkonflik dengan sesama kita. Apa yang terjadi baru-baru ini antara FPI (Front Pembela Islam) dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas, aksi kekerasan ini merupakan tragedi. Sehararusnya konflik tersebut tidak sesama masyarakat melainkan kepada pemerintah. Karena pemerintahlah yang memutuskan setiap kebijakan dan pengambil keputusan. Bila telah diputuskan oleh pemerintah maka kita sebagai rakyat harus tunduk pada putusan tersebut. Walaupun hal tersebut bukan sesuatu hal yang terbaik bagi sekolompok yang lain.
Oleh karena itu setiap aksi kekerasaan antara warga Negara tidak perlu terjadi. Bila hal tersebut disadari oleh masyarakat. Sikap-sikap memaksakan kehendak bukanlah hal yang dibenarkan. Gunakanlah dialog sebagai jalur penyelesaian terbaik. Bila tidak juga menemukan jalan keluarnya baru gunakan jalur hukum.
Negara kita adalah Negara hukum yang demokrasi pancasila. Karena kita telah menerima pilihan demokrasi kita harus berani mengambil konsekuensinya. Kita perlu menghargai setiap perbedaan, hal ini yang mungkin terlupakan. Buat apa para pendiri bangsa (fundingfather) meramu dan mengunakan istilah bhinneka tunggal ika, karena para pemimpin kita sadar bahwa Negara ini ada karena perbedaan tersebut. Perbedaan tersebut membuat kita kuat, bukan malah sebaliknya membuat kita hancur. Oleh karena itu para elem bangsa perlu “merenung” tentang hal tersebut.
Negara hukum juga membawa konsekuensi bahwa dilarang melakukan main hakim sendiri (eigen rechten). Hukum harus dijadikan “kompas” dalam kehidupan, bukan hanya bagi penegak hukum tapi juga bagi masyarakat. Karena selama ini kita lebih responsif jika ada aparat yang tidak mematuhi hukum, dan sebaliknya bila ada masyarakat lain yang tidak mematuhi hukum kita “tutup mata”. Ibarat Kok tibo dimato dipiciangkan kok tibo di paruik di kampihkan. Hal tersebutlah yang perlu kita perbaiki. Guna tetap abadinya kesatuan Negara yang kita cintai ini.

Jumat, 30 Mei 2008

PENYIDIK HIR VS PENYIDIK KUHAP

Menggelitik perasaan jika ada seorang teman atau keluarga yang diduga melakukan tindak pidana di periksa oleh penyidik. Hal ini disebabkan karena setelah diselidiki oleh penyidik akan timbul “ngomel-ongmel” karena penyidik tidak memperlakukannya sebagai manusia.
Seseorang yang ditahan oleh penyidik, dalam tahanan sering dipukuli dan bahkan disuruh oleh oknum penyidik untuk memakan kertas. Ini membuat “bulu kuduk” kita naik, atas ulah oknum penyidik tersebut. Tapi apa yang disampaikan bukanlah suatu deskripsi novel melainkan kenyataan yang ada ditengah-tengah kita yang telah menjadi rahasia umum. Rahasia yang diketahui banyak orang yang coba ‘ditutup-tutupi” seolah merupakan hal biasa.
Ada guyonan yang menarik yang perlu kita cermati “masuk gratis keluar bayar”, maksudnya masuk tahanan gratis dan keluar tahanan harus bayar. Guyonan ini bukan hanya tinggal guyonan namun ini juga kenyataan. Bila ada seseorang yang pernah mengalami hal tersebut akan mengakatan setuju memang terjadi hal tersebut.
Sebenarnya apa yang terjadi pada sistem peradilan pidana (criminal justice system) kita. Apakah hal ini diisyaratkan dalam peraturan perundang-undangan atau hanya diskresi yang menyimpang.

Tilik Peraturan
Sikap arogan “oknum penyidik” yang menganggap tersangka sebagai objek peradilan pidana merupakan hal yang telah lama. Hal ini terlihat dari HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yang mana produk Belanda ini memandang tersangka sebagai objek. Maka tidak heran bila terjadi tindakan kekerasan dalam mengungkapkan tindak pidana, seperti memukul, tendangan, bahkan memakan kertas pun dilakukan hanya untuk mengharapkan pengakuan dari tersangka tersebut. Hal ini, tentunya tidak akan menemukan peradilan yang memanusiakan manusia sebagai manusia (Fadillah Putra &Saiful Arif: 2001, hal 3).
Pengakuan tersebut merupakan hal yang dituju oleh penyidik. Maka penyidik berlomba untuk menyelesaikan penyidikannya dengan cara membuat tersangka untuk mengaku. Karena HIR memang menganut sistem peradilan pidana (criminal justice system) crimi contral model yang lebih menekankan cara kerja efisien, cepat dengan maksud untuk memperoleh pengakuan.

Para Digma KUHAP
KUHAP merupakan perangkat peraturan bagi sistem peradilan pidana Indonesia yang menggunakan sistem due process model. KUHAP lebih memanusiakan manusia dalam memandang tersangka sebagai subjek dalam peradilan pidana, sehingga tindakan kekerasaan tersebut dapat diminimalisir. Karena KUHAP telah memperhatiakan hak-hak asasi setiap manusia dan mengutamakan kesusilaan dan kegunaan saksi pidana.
Tujuan utama yang hendak dicapai peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak bukanlah wewenang penyidik tapi merupakan wewenang hakim. Hal inilah yang perlu disadari oleh semua pihak. Oleh karena itu penyidik hanya bertugas untuk mengungkap dan membuat terang suatu tindak pidana dan mencari tersangkanya serta mengumpulkan bukti. Hal mana dengan bukti ini akan dapat membuktikan tindak pidana tersebut di pengadilan.
Disadari pemeriksaan menurut aturan KUHAP tidak selamanya memberikan penjelasan yang memadai. Berbagai kelemahan dan hambatan, memperlihatkan bahwa ada semacam konsekuensi tertentu yang harus ditanggung sebagai wujud kegamanganan dalam praktek (pelaksanaan). Hal ini sebenarnya sudah diperhatikan oleh penyidik. Disamping itu penyidik juga menyadari tentang kelemahan mereka dalam melaksanakan tugas, baik mengenai lemahnya institusi dan personal (dilapangan). Ataupun mengenai aturan tertulis itu sendiri. Namun demikian pada prinsipnya kita dapat melihat bahwa perilaku di balik aturan dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan memegang kendali utama dalam mekanisme pemeriksaan.
Oleh sebab itu perlu kita cermati ungkapan bahwa semakin bebas penyidik melaksanakan tugas (kewenangan) yang ditentukan aturan formal (tidak luwes), semakin besar kemungkinan terjadinya pelanggaran (penyelewengan atau penyimpangan), karena pada dasarnya aturan (itu sendiri) merupakan “musuh tersembunyi” (a hidden enemy) ujar Nonet dan selznick (1978:hal 4-5).

Minggu, 25 Mei 2008

LEGITIMASI PERDA SYARIAH

Berangkat pada paradigma bahwa setiap perancangan Peraturan Daerah (Perda), berkewajiban untuk memahami hukum dan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif). Penguasaan yang benar atas hukum dan perundang-undangan akan memberikan kontribusi yang relevan bagi pembentukan hukum nasional. Ketidak cermatan dalam menguasai hukum perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi sebab cacatnya aturan hukum yang dibentuk baik secara formil maupun materil.

Dalam hal Perda yang konon katanya “berbau” syariah terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Maka untuk menjawab persoalan ini perlu kita sigi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1), menegaskan bahwa Perda masuk dalam salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan pada bagian ke-lima. Dimana menurut Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, menegaskan “Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”. Menurut Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menyebutkan “materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangn-undangan yang lebih tinggi. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 25, menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang kepala daerah adalah menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Tentang materi muatan, pada dasarnya diarahkan untuk menghindari duplikasi pengaturan pada aturan hukum yang tingkatannya berbeda. Disisi lain, materi muatan juga menghindarkan terjadinya konflik antar regulasi yang akhirnya menyulitkan dalam penerapan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa sumber hukum dari segala sumber hukum negara (staatsfundamentalnorm) adalah Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya (staatsgrundgesetz).

Perda yang memuat aturan agama bertentangan dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, “urusan pemerintahan yang menjadi pemerintah meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisia; moneter dan fiskal nasional; dan agama”. Dengan demikian muatan materi yang memuat urusan agama dan larangan aliran suatu agama “yang diindikasi menyimpang” merupakan kewenangan pemerintahan pusat.

Dalam hal terdapatnya hak asasi masyarakat “dikebiri” oleh Perda, masyarakat dapat mengajukan pengujian. Dalam kepustakaan maupun praktek, dikenal ada dua macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yaitu: hak menguji formil (formele toetsingsrecht) dan hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti Perda misalnya terjelma melalui cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Perda apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Lain hal dengan defenisi hak menguji materil, hak menguji materil merupakan suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya (asas lex superior derogat legi priori), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian Perda dapat ditempuh melalui pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review) dan pengujian oleh badan peradilan (judicial review). Pengujian oleh badan yang sifatnya politik dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Bila terdapat pertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang undangan yang lebih tinggi Perda dapat dibatalkan. Keputusan pembatalan ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya Perda (Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Namun bila telah lewat waktu yang ditetapkan tersebut tidak ada pembatalan dari Pemerintah (Mendagri) maka Perda tersebut sudah menjadi Perda “dalam arti sesungguhnya”, namun masih dapat mengajukan upaya berupa pengujian kepada badan peradilan. Mahkamah Agung yang berhak untuk melakukan pengujian Perda sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 31 dan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 11 ayat (2) b yang menyebutkan: "Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang".

Menimbulkan suatu pertanyaan bilamana Perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, apakah ada sanksi yang dapat diberikan kepada Kepala daerah yang telah menetapkannya. Mensigi dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat sanksi yang diberikan kepada kepala daerah yang membuat Perda yang bertentangan dengan peraturan-perundangan, selain tindakan Perda tersebut dibatalkan pemberlakuannya oleh aparat yang berwenang.

Rabu, 21 Mei 2008

ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PILKADA

UPAYA melakukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya mengenai Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kearah yang lebih baik merupakan suatu keharusan. Namun, menjadi rancu bila ada upaya kearah tidak boleh pejabat yang masih menjabat untuk mencalonkan diri sebagai “kontestan” Pilkada sebelum pejabat tersebut berhenti atau mengundurkan diri dari jabatannya (incumbent). Pola fikir ini keliru, hal ini dikarenakan bahwa dalam kerangka Negara hukum (rechtstaat) setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).
Hal ini menunjukan bahwa para politikus tidak lagi percaya kepada para pemimpinnya baik yang telah maupun para pimpinan yang akan maju. Inilah yang kita katakana dengan suatu “sindrom” tidak percaya pada para pemimpin. Hal ini tidak terjadi seketika melainkan merupakan “akumulasi” pembelajaran selama ini. Sejak reformasi bergulir kita gampang memaki-maki, menghina dan menganggap orang salah. Hal tersebut terlihat sejak kita memaki-makai Pak Harto (Presiden Indonesia Kedua) tanpa melihat dari masalah objektifitas. Kita tidak melihat sesuatu secara objektif terhadap permasalahan yang terjadi dan lebih berpandangan subjektif.
Menimbulkan suatu pertanyaan, apakah sudah sedemikian parahnya kita tidak lagi percaya pada pimpinan. Bahkan “sindrom” ini menyebar kepada para pembuat undang-undang, legislatif pun berpandangan yang sama bahwa para pejabat yang masih menjabat akan memanfaatkan kekuasaannya dalam Pilkada.

Mindset

Incumbent merupakan hal biasa dilakukan dalam ranah demokrasi. Oleh karena itu tidak perlu mencurigai incumbent untuk menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan Pilkada bila ia tidak mengundurkan diri. Hal ini dilandaskan adanya asas dalam hukum yakni asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) yang dianut hukum nasional kita. Semua orang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan dari pengadilan yang bersifat final dan mengikat (In krach van gewijk). Namun asas diabaikan bahkan disingkirkan secara sistematis pada Pilkada. Kita lebih mengutamakan perasaan dan dugaan yang tak berdasar ketimbangan pandangan yang objektif terhadap suatu masalah.
Senada dengan hal di atas, pandangan ini dipengaruhi oleh kondisi di mana rakyat yang bodoh dan “tidak melek” hukum. Para politikus dengan gampangnya “menyotir” massa membuat suatu mindset yang keliru bahwa para peserta “kontestan” Pilkada incumbent harus melepaskan jabatannya untuk mencalonkan dirinya kembali. Masyarakat pun dengan mudah mengikuti alur pendapat para politikus tersebut, masyarakat berpikir pendek tanpa mengetahui maksud jangka panjang dari politikus tersebut. Semestinya hal itu tidak terjadi!

Facum of Power

Kekosongan kekuasaan di daerah akan menimbulkan hal yang fatal dalam roda pemerintahan daerah. Karena pengambilan kewenangan seperti mengeluarkan keputusan (baschiking) dan kebijakan harus dilakukan oleh aparat yang berwenang. Bila dilimpahkan kepada pihak lain, tentunya akan menghalangi perjalanan roda pemerintahan. Karena putusan dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah merupakan suatu perbuatan hukum yang harus dipertanggung jawabkan.
Memang dalam Pemerintahan ada suatu kewenangan yang diterima melalui attributif. Namun dalam hal pengambilan kewenangan pemerintah daerah harus dilakukan oleh Kepala Daerah itu sendiri tanpa harus di attributifkan pada pejabat yang lain. Bayangkan bila terjadi hal-hal yang darurat (bencana, kerusuhan atau tauran masal) itu semestinya diselesaikan secara cepat dan butuh kebijakan darurat dari Kepala daerah bukannya yang menerima kewenangan attributif.

Kuatkan hukum

Solusi yang harus dilakukan seharusnya adalah dengan memperkuat hukum. Buatlah peraturan dengan bahasa yang lugas, jelas dan tanpa ada banyak enterprestasi serta bersifat integral. Oleh karena itu para pembuat regulasi perlu untuk merunjuk kembali pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan demikian, para pejabat yang mau kembali mencalonkan diri sebagai “kontestan” Pilkada (incumbent) tidak masalah apakah ia mengundurkan diri atau tidak mengundurkan diri, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh KPUD dan tidak melanggar ketentuan undang-undang. Bila ternyata “kontestan” Pilkada yang masih menjabat tersebut menggunakan kewenangan atau kekuasaan “secara haram”, tentu dapat didiskualifikas dari gelanggang pesta rakyat. Bukan malah mengibiri hak asasi setiap masyarakat untuk ikut sebagai “kontestan” Pilkada. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pilkada lebih diperinci sehingga tidak ada daerah abu-abu dalam pelaksanaannya.
Namun, hal inilah “malas” dilakukan oleh legislator. Legislator lebih suka memotong “kompas” tanpa mencari solusi yang komprehensif dalam membuat regulasi dan lebih menonjolkan regulasi yang menguntungkan segelintir kelompoknya tanpa perhatian pada rakyat keseluruhan.