Jumat, 04 Juli 2008

DILEMA BANTUAN HUKUM

Jamak mungkin pernah mendengar seseorang yang ditangkap atau ditahan yang mana dalam tahanan mereka tersebut disiksa untuk mendapatkan pengakuan seperti dipukul dengan mata tertutup, atau diperintahkan makan kertas dan bentuk kekerasan lainnya. Atau pernah mendengar seorang yang ditahan karena diduga melakukan suatu tindak pidana, namun sudah dua minggu ditahan pemeriksaan terhadapnya hanya dilakukan satu kali saja. Bagi yang tidak pernah mengalami baik pribadi atau keluarga akan mengatakan tidak mungkin. Namun bagi yang pernah mengalami pasti akan setuju dengan apa yang penulis paparkan.
Apalagi bila yang mengalami penangkapan atau penahanan adalah masyarakat miskin dan buta hukum. Para oknum penegak hukum akan memandang orang ini bagaikan “makanan enak” yang siap untuk disantap. Sehingga bantuan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang hanya bagaikan “nada-nada indah” tanpa dapat diwujudkan (diimplementasikan) dalam prakteknya. Disamping itu pengadilan tempat pencari keadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, sudah mulai jauh dari harapan masyarakat.
Kekuasaan atau kewenagan yang bebas bagi aparatur penegak hukum melaksanakan dalam melaksanakan tugas (kewenangan) yang ditentukan oleh aturan formal yang tidak luwes, mengandung resiko semakin besar kemungkinan terjadinya (penyelewengan) karena pada dasarnya aturan itu merupakan “musuh tersembunyi” (a hidden enemy) (Philippe Nonet & Philip Selznick, 1979, hal 4-5).
Bagaikan dua alam yang berbeda bagi para pencari keadilan yang memiliki uang (ber-uang), ia akan mendapatkan bantuan hukum ataupun jasa hukum dari Advokat. Tidak hanya itu perlakuan dari para oknum penegak hukum akan lebih sopan. Maka tidak heran bila dalam proses peradilan pidana (criminal justice) sering terjadi kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of justice).
Sudah lumrah bilamana ada sebagian masyarakat yang menyebut jasa hukum atau bantuan hukum tersebut sifatnya lebih mirip bisnis dan komersial. Itu sebabnya bantuan hukum atau jasa hukum merupakan komoditi atau barang mewah yang hanya dapat dijangkau oleh orang kaya yang banyak uang. Bagi yang tidak punya uang, yang tergolong rakyat jelata istilah halusnya miskin, akan kewalahan untuk mendapat dan didampingi pembelaan di dalam melindungi dan memepertahankan hak-hak dan martabat kemanusiaannya.
Hukum dipandang tidak lagi hanya menampakkan nilai-nilai yang sudah mapan, melainkan lebih dari itu, hukum semakin banyak dipakai untuk menyalurkan kebijaksanaan pembangunan oleh negara. Di samping itu hukum tidak hanya dikontruksikan sebagai tindakan-tindakan mengeluarkan peraturan-peraturan hukum secara formal saja (ius contitum), melainkan kita akan melihat pula bagaimanakah hukum itu berkiprah di dalam masyarakat (ius operatum) dimana (program) bantuan hukum berada dalam kerangka ini.
Disisi lain, disinilah pentingnya dan strategisnya hak untuk didampingi Penasihat Hukum (Advokat) yang merupakan sesuatu imperatif dalam rangka mencapai proses hukum yang adil dan menemukan kepastian hukum. Kehadiran penasihat hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dari penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, dan proses persidangan. Dengan demikian masyarakat perlu untuk memahami hal tersebut, namun tidak hanya masyarkat tapi juga para Penasihat Hukum (Advokat) itu sendiri untuk dapat memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.