Minggu, 21 Februari 2010

KRIMINALISASI PERNIKAHAN SIRI LANGAR HAM

Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perkawinan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. RUU Perkawinan tersebut digiring kearah kriminalisasi pernikahan siri. Penggiringan tersebut merupakan langkah mengkibiri dan tamparan terhadap Hak Asasi Manusia.
Nikah merupakan hak setiap orang yang diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (1), “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah menurut undang-undang di dasarkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam pandangan agama Islam Perkawinan merupakan bentuk ibadah. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa, “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah. Dalam menjalankan ibadah tersebut negara menjamin kemerdekaan. Hal tersebut sebagaiman termaktub dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap­tiap  penduduk  untuk  memeluk agamanya  masing­masing  dan  untuk  beribadat  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu”.
Kriminal atau Administrasi
Sebelum buru-buru melakukan kriminalisasi nikah sirih perlu untuk dipahami bagaimana konsep nikah sirih menurut pemerintah. Konsep nikah siri dalam pandangan pemerintah adalah pernikahan yang tidak dicatatkan di instansi yang berwenang. Artinya pencacatan merupakan pangkal awal permasalahan.
Konsep pencatatan merupakan hal yang bersifat administrasi. Guna dilakukan pencatatan tersebut adalah untuk tertib administrasi. Sungguh menganehkan, bila pencatatan yang merupakan hal yang bersifat administrasi dikriminalisaikan atau dimasukkan dalam zona pidana.
Dalam masyarakat budaya perkawinan berdasarkan kepada agama tanpa pencatatan ke instansi yang berwenang masih banyak dilakukan. Banyak faktor yang menumbuh sumburkan budaya nikah siri tersebut. Mulai dari mahalnya biaya pencatatan sampai memang malasnya masyarakat mengurus pencatatan. Bila pencatatan perkawinan dikriminalisasi, akan menimbulkan permasalahan baru dalam masyarakat. Bila ada seseorang yang melakukan perkawinan tidak dicatat maka polisi dapat melakukan tindakan dengan memprosesnya dan melakukan penahanan.
Orang yang baru berbahagia merayakan pernikahannya kemudian ditangkap karena tidak mencatatkan perkawinannya ke instansi yang berwenang. Tentunya akan menimbulkan keresahan sosial dalam masyarakat.
Apa yang dikriminalisasi
Pernikahan siri tidak seharusnya dikriminalisasi. ada hal lain yang semestinya dikriminalisasi menyangkut pernikahan siri tersebut. Pertama, paksaan untuk melakukan perkawinan. Perkawinan merupakan hal yang bersifat privat dan persetujuan dari para pihak. Tidak mungkin terjadi pernikahan bila para pihak tidak saling setuju. Bila ada paksaan dari salah satu pihak untuk melakukan perkawinan, maka perbuatan paksaan tersebutlah yang dikriminalasiskan.
Kedua, seharusnya yang dikriminalisasi pegawai atau aparat pemerintah yang tidak mengeluarkan akta pernikahan. Karena pencatatan pernikahan merupakan suatu hak. Karena dalam hak tidak ada sanksi kecuali itu kewajiban.
Hal ini serupa dengan akta kelahiran. Akta kelahiran bagi anak hak atau kewajiban. Tentunya hak, oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan. Bukannya pemerintah yang tinggal diambil dikantor dan nanti ada yang meminta akta kelahiran baru dibuatkan dengan mengenakan biaya. Seharunya pemerintah yang terjun kelapangan untuk memperhatikan masyarakat. Bila ada anak yang lahir, tanpa dilaporkan lagi, pemerintah sudah tau dan memberikan langsung akta kelahiran tanpa dipungut biaya. Itulah makna yang sebenarnya dari hak asasi tersebut.
Semestinya
Karena pernikahan merupakan hak. Seharusnya pencatatan perkawinan merupakan suatu kewajiban pemerintah.
Perlu dipahami, bahwa pemerintah lahir untuk melayani bukan untuk dilayani. Pemerintah memiliki perangkat dari pujuk tertinggi Presiden sampai yang terkecil RT (rukun tetangga). Oleh karena itu, perangkat inilah yang bekerja untuk masyarakat. bila ada masyarakat yang melangsungkan pernikahan maka pemerintahlah yang berperan aktif untuk mendatangi dan mencatat. Bukan sebaliknya yang berlangsung selama ini, orang yang akan menikah datang ke pemerintah untuk mencatatkan pernikahannya tersebut dan dikenakan biaya.
Oleh karena itu, perlu perubahan mindset oleh aparat pemerintah. Khususnya aparat pemerintah yang terkecil, seperti RT dan luruh. Bila ada warganya yang menikah maka ialah yang melaporkan ke instansi yang berwenang. Dan instansi yang berwenang tinggal menerbitkan akta nikah.