Jumat, 30 Mei 2008

PENYIDIK HIR VS PENYIDIK KUHAP

Menggelitik perasaan jika ada seorang teman atau keluarga yang diduga melakukan tindak pidana di periksa oleh penyidik. Hal ini disebabkan karena setelah diselidiki oleh penyidik akan timbul “ngomel-ongmel” karena penyidik tidak memperlakukannya sebagai manusia.
Seseorang yang ditahan oleh penyidik, dalam tahanan sering dipukuli dan bahkan disuruh oleh oknum penyidik untuk memakan kertas. Ini membuat “bulu kuduk” kita naik, atas ulah oknum penyidik tersebut. Tapi apa yang disampaikan bukanlah suatu deskripsi novel melainkan kenyataan yang ada ditengah-tengah kita yang telah menjadi rahasia umum. Rahasia yang diketahui banyak orang yang coba ‘ditutup-tutupi” seolah merupakan hal biasa.
Ada guyonan yang menarik yang perlu kita cermati “masuk gratis keluar bayar”, maksudnya masuk tahanan gratis dan keluar tahanan harus bayar. Guyonan ini bukan hanya tinggal guyonan namun ini juga kenyataan. Bila ada seseorang yang pernah mengalami hal tersebut akan mengakatan setuju memang terjadi hal tersebut.
Sebenarnya apa yang terjadi pada sistem peradilan pidana (criminal justice system) kita. Apakah hal ini diisyaratkan dalam peraturan perundang-undangan atau hanya diskresi yang menyimpang.

Tilik Peraturan
Sikap arogan “oknum penyidik” yang menganggap tersangka sebagai objek peradilan pidana merupakan hal yang telah lama. Hal ini terlihat dari HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yang mana produk Belanda ini memandang tersangka sebagai objek. Maka tidak heran bila terjadi tindakan kekerasan dalam mengungkapkan tindak pidana, seperti memukul, tendangan, bahkan memakan kertas pun dilakukan hanya untuk mengharapkan pengakuan dari tersangka tersebut. Hal ini, tentunya tidak akan menemukan peradilan yang memanusiakan manusia sebagai manusia (Fadillah Putra &Saiful Arif: 2001, hal 3).
Pengakuan tersebut merupakan hal yang dituju oleh penyidik. Maka penyidik berlomba untuk menyelesaikan penyidikannya dengan cara membuat tersangka untuk mengaku. Karena HIR memang menganut sistem peradilan pidana (criminal justice system) crimi contral model yang lebih menekankan cara kerja efisien, cepat dengan maksud untuk memperoleh pengakuan.

Para Digma KUHAP
KUHAP merupakan perangkat peraturan bagi sistem peradilan pidana Indonesia yang menggunakan sistem due process model. KUHAP lebih memanusiakan manusia dalam memandang tersangka sebagai subjek dalam peradilan pidana, sehingga tindakan kekerasaan tersebut dapat diminimalisir. Karena KUHAP telah memperhatiakan hak-hak asasi setiap manusia dan mengutamakan kesusilaan dan kegunaan saksi pidana.
Tujuan utama yang hendak dicapai peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak bukanlah wewenang penyidik tapi merupakan wewenang hakim. Hal inilah yang perlu disadari oleh semua pihak. Oleh karena itu penyidik hanya bertugas untuk mengungkap dan membuat terang suatu tindak pidana dan mencari tersangkanya serta mengumpulkan bukti. Hal mana dengan bukti ini akan dapat membuktikan tindak pidana tersebut di pengadilan.
Disadari pemeriksaan menurut aturan KUHAP tidak selamanya memberikan penjelasan yang memadai. Berbagai kelemahan dan hambatan, memperlihatkan bahwa ada semacam konsekuensi tertentu yang harus ditanggung sebagai wujud kegamanganan dalam praktek (pelaksanaan). Hal ini sebenarnya sudah diperhatikan oleh penyidik. Disamping itu penyidik juga menyadari tentang kelemahan mereka dalam melaksanakan tugas, baik mengenai lemahnya institusi dan personal (dilapangan). Ataupun mengenai aturan tertulis itu sendiri. Namun demikian pada prinsipnya kita dapat melihat bahwa perilaku di balik aturan dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan memegang kendali utama dalam mekanisme pemeriksaan.
Oleh sebab itu perlu kita cermati ungkapan bahwa semakin bebas penyidik melaksanakan tugas (kewenangan) yang ditentukan aturan formal (tidak luwes), semakin besar kemungkinan terjadinya pelanggaran (penyelewengan atau penyimpangan), karena pada dasarnya aturan (itu sendiri) merupakan “musuh tersembunyi” (a hidden enemy) ujar Nonet dan selznick (1978:hal 4-5).

Tidak ada komentar: