Berangkat pada paradigma bahwa setiap perancangan Peraturan Daerah (Perda), berkewajiban untuk memahami hukum dan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif). Penguasaan yang benar atas hukum dan perundang-undangan akan memberikan kontribusi yang relevan bagi pembentukan hukum nasional. Ketidak cermatan dalam menguasai hukum perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi sebab cacatnya aturan hukum yang dibentuk baik secara formil maupun materil.
Dalam hal Perda yang konon katanya “berbau” syariah terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Maka untuk menjawab persoalan ini perlu kita sigi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1), menegaskan bahwa Perda masuk dalam salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan pada bagian ke-lima. Dimana menurut Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, menegaskan “Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”. Menurut Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menyebutkan “materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangn-undangan yang lebih tinggi. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 25, menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang kepala daerah adalah menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Tentang materi muatan, pada dasarnya diarahkan untuk menghindari duplikasi pengaturan pada aturan hukum yang tingkatannya berbeda. Disisi lain, materi muatan juga menghindarkan terjadinya konflik antar regulasi yang akhirnya menyulitkan dalam penerapan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa sumber hukum dari segala sumber hukum negara (staatsfundamentalnorm) adalah Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya (staatsgrundgesetz).
Perda yang memuat aturan agama bertentangan dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, “urusan pemerintahan yang menjadi pemerintah meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisia; moneter dan fiskal nasional; dan agama”. Dengan demikian muatan materi yang memuat urusan agama dan larangan aliran suatu agama “yang diindikasi menyimpang” merupakan kewenangan pemerintahan pusat.
Dalam hal terdapatnya hak asasi masyarakat “dikebiri” oleh Perda, masyarakat dapat mengajukan pengujian. Dalam kepustakaan maupun praktek, dikenal ada dua macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yaitu: hak menguji formil (formele toetsingsrecht) dan hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti Perda misalnya terjelma melalui cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Perda apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Lain hal dengan defenisi hak menguji materil, hak menguji materil merupakan suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya (asas lex superior derogat legi priori), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian Perda dapat ditempuh melalui pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review) dan pengujian oleh badan peradilan (judicial review). Pengujian oleh badan yang sifatnya politik dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Bila terdapat pertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang undangan yang lebih tinggi Perda dapat dibatalkan. Keputusan pembatalan ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya Perda (Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Namun bila telah lewat waktu yang ditetapkan tersebut tidak ada pembatalan dari Pemerintah (Mendagri) maka Perda tersebut sudah menjadi Perda “dalam arti sesungguhnya”, namun masih dapat mengajukan upaya berupa pengujian kepada badan peradilan. Mahkamah Agung yang berhak untuk melakukan pengujian Perda sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 31 dan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 11 ayat (2) b yang menyebutkan: "Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar